Puncak Saptorenggo atau disebut juga Puncak Songolikur adalah puncak tertinggi di Gunung Muria Jawa Tengah dengan ketinggian 1602 meter dpl. Puncak ini termasuk dalam wilayah administratif desa Rahtawu, Gebog Kabupaten Kudus Jawa Tengah.
Selain menjadi puncak yang menarik perhatian setiap Pecinta Alam untuk mendakinya, juga menjadi tempat tujuan bagi para pencari berkah dan pelaku spiritual utamanya pada setiap bulan sura atau bulan muharam.
Selain menjadi puncak yang menarik perhatian setiap Pecinta Alam untuk mendakinya, juga menjadi tempat tujuan bagi para pencari berkah dan pelaku spiritual utamanya pada setiap bulan sura atau bulan muharam.
Terdapat dua rute pendakian yang dapat ditempuh untuk mencapai puncak Songolikur. Rute tersebut adalah:
Melalui Pos Pendakian di dukuh Semliro desa Rahtawu, Gebog Kabupaten Kudus.
Melalui Pos di desa Tempur, Keling, Kabupaten Jepara.Wukir Rahtawu adalah sebuah gunung yang terletak berdampingan dengan gunung Muria.
Melalui Pos Pendakian di dukuh Semliro desa Rahtawu, Gebog Kabupaten Kudus.
Melalui Pos di desa Tempur, Keling, Kabupaten Jepara.Wukir Rahtawu adalah sebuah gunung yang terletak berdampingan dengan gunung Muria.
Dahulu kala Konon katanya di Puncak Rahtawu – yaitu Puncak Songolikur ( Puncak 29 ) adalah pusat pertapaan para dewa yang selalu memberikan kedamaian dan rahmat di Bumi.
Wisata pegunungan Rahtawu merupakan suatu tempat yang terletak di kaki Gunung Muria sekitar 20 km dari Kota Kudus yang terletak di desa Rahtawu Kecamatan Gebog. Rahtawu ini memiliki pemandangan yang indah karena letaknya yang dikelilingi deretan pegunungan dan sungai-sungai yang masih jernih. Mata air sungai Kali Gelis berasal dari Rahtawu ini. Kawasan ini sangat cocok bagi para pelajar, remaja serta muda-mudi yang berhobi mendaki gunung dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan Puncak “SONGOLIKUR”.
Selain memiliki wisata alam, Rahtawu mempunyai wisata budaya karena di rahtawu ini terdapat tempat-tempat pertapaan / petilasan dimana nama petilasan tersebut diambil dari beberapa cerita pewayangan,
yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton
yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton
Rahtawu yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian merupakan daya tarik bagi yang suka laku prihatin.
Kata orang desa rahtawu nama Rahtawu mempunyai arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalo indonesianya (darah yang bercecer )
Kata orang desa rahtawu nama Rahtawu mempunyai arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalo indonesianya (darah yang bercecer )
Tabu/Pantangan tertentu. Di Rahtawu juga ada pantangan, yakni warga dilarang nanggap wayang kulit. Meski di sana banyak nama petilasan bernama leluhur Pandawa.
“Bila dilanggar, yang bersangkutan terkena bencana,”
Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, ( Jogetan tradisional di daerah pantura Jawa tenggah)
“Bila dilanggar, yang bersangkutan terkena bencana,”
Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, ( Jogetan tradisional di daerah pantura Jawa tenggah)
Prosesi ritual itu dikatakan sebagai tradisi warga Rahtawu yang berjalan turun-temurun. “Maksudnya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih banyak dari tahun lalu.
Rahtawu memang menyimpan banyak misteri. Dan seharusnya, baik ilmuwan Islam maupun juru dakwah tertarik dan mencari tahu bagaimana praktik Islam di sana. Apalagi, dinamika kehidupan warga di Rahtawu yang juga masih tradisional
Rahtawu memang menyimpan banyak misteri. Dan seharusnya, baik ilmuwan Islam maupun juru dakwah tertarik dan mencari tahu bagaimana praktik Islam di sana. Apalagi, dinamika kehidupan warga di Rahtawu yang juga masih tradisional
MITOS, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyasa yang merupakan leluhur Pandawa dan Korawa.
Menurut cerita babad dan Purwa, konon leluhur raja-raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata.
Menurut cerita babad dan Purwa, konon leluhur raja-raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata.
Di Rahtawu terdapat banyak “petilasan pertapaan” yang diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan tempat bertapanya “para suci” yang oleh penduduk setempat disebut “Eyang”.
Diantaranya :
Diantaranya :
Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.
Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Saloka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.
Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung “Abiyasa”, ada yang menyebut “Sapta Arga”.
Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung “Sangalikur”,
di puncaknya tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.
Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung “Sangalikur” sebelah timur.
Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga sebelum bertaubat), di Rahtawu.
Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto, berupa makam di dusun Semliro.
Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Saloka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.
Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung “Abiyasa”, ada yang menyebut “Sapta Arga”.
Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung “Sangalikur”,
di puncaknya tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.
Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung “Sangalikur” sebelah timur.
Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga sebelum bertaubat), di Rahtawu.
Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto, berupa makam di dusun Semliro.
Semua “petilasan” (kecuali makam Eyang Mada) merupakan “batu datar” yang diperkirakan sebagai tempat duduk ketika bertapa (meditasi, semadi). Sayangnya, semua petilasan tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat sedemikian rupa “sakral” dengan diberi bilik yang tertutup dan dikunci.
Pembukaan tutup dilakukan setiap bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.
Pembukaan tutup dilakukan setiap bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.
Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk melakukan “ritual sesaji” dengan bunga dan pembakaran
dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran
untuk melakukan “ritual sesaji” maupun “ngalap berkah”
dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran
untuk melakukan “ritual sesaji” maupun “ngalap berkah”
Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan, Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa.
Bangunan peribadatan berupa masjid ataupun langgar (mushalla) merupakan bangunan baru buatan jaman ini. Maka sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs peradaban apakah di Rahtawu tersebut ?
ini berkaitan dengan ajaran budhi (Sabdo Palon) ajaran tentang kautaman urip.
ini berkaitan dengan ajaran budhi (Sabdo Palon) ajaran tentang kautaman urip.
Meskipun semua “petilasan pertapaan” berkaitan dengan nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh yang mengadakan pagelaran wayang tersebut.
ketegaran Jawa dalam berinteraksi dengan berbagai peradaban pendatang di Rahtawu,
sebagai berikut :
sebagai berikut :
Di puncak tertinggi (gunung “Sangalikur”) adalah “petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang”. Tempatnya sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung (tan kena kinayangapa).
Dibawahnya ada “petilasan pertapaan” Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar).
Dibawahnya ada “petilasan pertapaan” Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar).
Tokoh-tokoh tersebut merupakan simbul personifikasi manusia titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan “laku darma” pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau mengajarkan “laku-urip” yang religius.
Sang Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan (realitas tertinggi) Jawa.
Bathara Ismaya merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau diibaratkan pada sel hidup).
Eyang Manik Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan.
Bathara Ismaya merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau diibaratkan pada sel hidup).
Eyang Manik Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan.
Demikian pula kiranya konsep Jawa tentang “Urip” selalu terdiri dari “Manikmaya” dan “Ismaya” yang juga tidak bisa dipisahkan.
Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa yang tidak pernah berperang.
1. Puntadewa simbul kesabaran,
2. Nakula kecerdasan, dan
3. Sadewa kebijaksanaan.
1. Puntadewa simbul kesabaran,
2. Nakula kecerdasan, dan
3. Sadewa kebijaksanaan.
Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa, Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga
yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih. yang sekarang berdiam di Alas krendo wahana
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan di gunung “Sangalikur” dibawah Sang Hyang Wenang,
yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih. yang sekarang berdiam di Alas krendo wahana
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan di gunung “Sangalikur” dibawah Sang Hyang Wenang,
Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan (sesembahan) adalah kesadaran akan “sejatining urip”, yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar),Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana).
Puncak kedua di “gunung Abiyasa” merupakan “petilasan pertapaan” Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya merupakan maharesi yang tertinggi “kawruhnya”.
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan turun melalui jalan yang sama.
Sepertinya menyiratkan
bahwa jalan menuju puncak ketinggian “harkat spirituil manusia” yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak meninggalkan keramaian dunia.
Palasara dan Abiyasa konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan turun melalui jalan yang sama.
Sepertinya menyiratkan
bahwa jalan menuju puncak ketinggian “harkat spirituil manusia” yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak meninggalkan keramaian dunia.
Palasara dan Abiyasa konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.
Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya
pula, keduanya tidak menempati “etika agama” dalam hal bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang terekayasa oleh kebutuhan.
Palasara bercinta-asmara dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi
penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai “kesempurnaan harkat kemanusiaan” bisa dicapai juga dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah, meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan “norma kesusilaan” dan “etika keagamaan”.
pula, keduanya tidak menempati “etika agama” dalam hal bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang terekayasa oleh kebutuhan.
Palasara bercinta-asmara dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi
penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai “kesempurnaan harkat kemanusiaan” bisa dicapai juga dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah, meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan “norma kesusilaan” dan “etika keagamaan”.
Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur
Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat
manusia katimbang dewa.
Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat
manusia katimbang dewa.
Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki gunung seolah menyiratkan pandangan Jawa, bahwa
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta (memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi disetarakan dengan manusia.
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta (memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi disetarakan dengan manusia.
Begitulah Penafsiran tentang hakekat adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di Rahtawu.
Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam Eyang Mada, adalah suatu “punden” baru yang tidak ada
hubungannya dengan “petilasan pertapaan” paya Hyang dan Resi.
Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam Eyang Mada, adalah suatu “punden” baru yang tidak ada
hubungannya dengan “petilasan pertapaan” paya Hyang dan Resi.
Adapun bagaimana sejarah Rahtawu masih merupakan misteri. Siapa pula yang menetapkan daerah itu Menjadi petilasan pertapaan, juga masih sulit untuk didapatkan keterangan. Yang jelas sudah sejak jaman kuno Rahtawu dianggap sebagai tempat petilasan pertapaan “para suci”. Mungkin dulunya mirip “Sungai Gangga” di India.
Atau semua itu adalah rekayasa para leluhur Jawa untuk lebih meyakinkan bahwa yang menciptakan Mahabharata, Resi Wiyasa, adalah Abiyasa yang tinggalnya di Rahtawu, Jepara.
Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi tempat untuk kepentingan “ngalap berkah” yang
bermacam-macam.
Caranya juga bermacam-macam pula. Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap klenik, tahayul dan syirik.
Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat
itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga) yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang muslim. Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen).
Menurut yang “muslim saleh”, menyatakan bahwa Rahtawu tempat berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan “kejawen” menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma kuburan manusia biasa.
Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi tempat untuk kepentingan “ngalap berkah” yang
bermacam-macam.
Caranya juga bermacam-macam pula. Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap klenik, tahayul dan syirik.
Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat
itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga) yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang muslim. Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen).
Menurut yang “muslim saleh”, menyatakan bahwa Rahtawu tempat berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan “kejawen” menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma kuburan manusia biasa.
Begitulah kenyataan pergulatan antar peradaban di Jawa baru mencapai tahap saling menganggap klenik, tahayul dan syirik bagi pihak yang tidak sealiran.
Jamaah Manganthi sekitar 20 orang berjalan beriringan menuju puncak songolikur untuk “terjun langsung” di alam bebas dan bukan hanya melakukan zikir di rumah saja, karena kita akan merasakan perbedaan batin dan merasakan aura alam pegunungan pada tengah malam.
Setelah sampai di puncak Songolikur , Mbah Doel beserta jamaah Manganthi melaksanakan sholat hajat dan berzikir di areal tersebut. Tiba-tiba datang sinar biru meluncur dari arah atas ke bawah. Dengan karomah wali yang dianugerahkan Mbah Doel sinar itu ditangkap . Ternyata setelah ditangkap berubah wujud menjadi pusaka. Mbah Doel menganggap itu oleh-oleh dari Puncak Songolikur dan tanda perkenalan dengan penghuni ghaib di sana. Oleh karena itu jangan sampai kita mengimani pusaka dan sejenisnya namun berimanlah pada Allah swt yang menciptakan alam dunia seisinya.
http://mbahdoelmanganthi.wordpress.com/2012/02/03/puncak-songolikur/#comment-71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar